Jumat, 25 November 2016

Guru Luar Biasa

Banjarbaru (25/11)
Menyambut hari guru tahun 2016, seorang teman berbagi cerita nyata. Tentang seorang guru yang sangat luar biasa. Berikut cerita yang dituliskan oleh Aris Efendi. 
.
SEPERTI yang telah aku ceritakan kepada kalian, di kelas 2 wali kelasku adalah Ibu Mardianis, perempuan yang mendedikasikan hampir dua pertiga umurnya untuk mencerdaskan murid-muridnya. Dialah guru sederhana yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan murid-murid berotak cemerlang, sementara hidupnya tetap bersahaja hingga hari ini. Aku tahu itu karena hingga usianya yang hampir senja ia masih tetap tinggal mengontrak di rumah orangtuaku sejak dulu sampai kini. Aku mengenalnya seperti aku dengan mudah mengenali berapa jumlah jari-jari kakiku. Bayangkan, ia sudah tinggal di rumah reot itu sejak aku masih belum disunat oleh Mantri Herman hingga aku pulang untuk merawat ibu, enam bulan yang lalu. Kira-kira sudah 26 tahun lamanya.
Selasa 21 Maret 2013 di rumah sakit Ibnu Sina, ruang Ar-Raudah kamar nomor 2 paling ujung, Ia datang menjenguk ibuku yang merintih menahan luka. Saat itu aku sedang mencuci alas tidur yang dipakai ibu usai ia menjalani operasi tulang, malam sehari sebelumnya. Ia datang bersama kakakku, mantan muridnya yang kini menjadi koleganya sesama guru di sekolah kita dulu. Kulihat, tak ada yang berubah dalam hidupnya. Tak ada tas mewah yang dipakainya, tak ada baju dan sepatu bermerk yang dikenakannya. Seperti dulu, ia masih setia hidup sendiri. Meski tak bisa melihat berapa jumlah uban yang tumbuh di kepalanya tetapi aku tahu ia adalah perempuan yang sedang bertarung melawan usia.

Di mataku dia adalah guru luar biasa, seluarbiasa kegalakannya kepada siswa. Karena itu semasa sekolah dulu banyak murid yang tak menyukainya, termasuk aku. Dia guru matematika. Dialah yang mengajarkan operasi dasar aritmetika dan logaritma. Dia katam membicarakan sinus, co-sinus, tangen, co-tangen, kosa kata yang dulu sering dibenci murid-muridnya, termasuk juga aku. Ketegasannya itulah yang mendidikku berani menatap dunia dan mencoba menaklukkannya hingga hari ini.

Matematika adalah eksakta. Eksakta identik dengan ketegasan. Matematika tak pernah bertekuk lutut dengan intervensi dan tekanan massa. Dalam matematika 2 + 2 = 4 meskipun 1.000 orang mengatakannya enam. 

Ibu Mardianis inilah yang mendidikku untuk disiplin belajar. Dulu sejak SD aku sudah punya kamar sendiri. Kamarku penuh dengan barang-barang bekas. Accu bekas, kipas angin bekas, senter kecil bekas, dinamo bekas, kabel bekas. Kamarku mirip sekali dengan tempat tikus membuat sarang untuk melahirkan. Barang-barang bekas itu adalah property eksperimenku. Apa saja yang unik ku lihat, ingin ku buat. Masa itu rumah kami belum mengenal kulkas. Kalau mau minum teh es, ibu menyuruhku membeli es batu di warung Pak Japri. Kalau tak salah namanya Bengkel Sinar Kurnia. Bengkel las memang, tetapi ia juga menjual es batu. Bengkel itu terletak hanya beberapa petak rumah dari rumah Emilda, rumah yang sekaligus Toko Selex Fotokopi milik orangtuanya. Di sebelah kirinya lagi, disitulah Mirawati membuka kedai makan. Di toko Emilda aku sering mem-fotokopi gambar pohon beringin lambang Golkar, gambar Ka’bah lambang PPP serta lambang PDI. Aku gambar sendiri lambang-lambang partai itu dengan tanganku, ku fotokopi lalu kubagi-bagi kepada teman-temanku. Itu terjadi saat aku masih di sekolah dasar menjelang Pemilu zaman Orde Baru. Saat itu ada tiga toko fotokopi di dekat situ. Foto kopi Ricoh, tiga petak rumah di sebelah kiri rumah Emil dan fotokopi Cannon di seberangnya. Aku mengenal baik seluruh keluarga Emil, ayah dan ibunya serta kakak laki-lakinya, Delfianto. Bahkan aku juga hafal dengan mobil Kijang hitam bak terbuka miliknya. Semasa itu mobil adalah barang mewah yang jarang dimiliki orang di kampungku. Selepas SMA aku pernah bertengkar dengan ayah Emil. Aku lupa apa pemicunya. Sama seperti kepada Winda Kurnia, aku juga belum pernah memohon ampun dan maaf kepada orangtua Emilda setelah pertengkaran itu. Melalui tulisan ini, andai beliau masih ada dan kalau Emil bersedia, sampaikan sembah maafku sedalam-dalamnya. 

Maret 2013 tempohari saat aku pulang ke Pasaman, di atas travel yang membawaku, ku palingkan muka ke rumah Emilda. Lama aku perhatikan tapi tak kutemukan jejak deretan toko yang akrab dengan masa kecilku itu. Gantinya toko-toko baru yang begitu asing bagiku. Kemanakah keluarga Emilda? Dimana bengkel dinamo di ujung sana?Dimana bioskop misbar tempat dulu aku menonton film dengan cara mengintip melalui celah-celah dindingnya karena tak punya cukup uang untuk membeli karcis masuk? Dimana Iin Cannon, gadis over-obesitas putri pengelola bisokop gerimis bubar itu? Aku tertegun di situ menitikkan air mata. Jejak-jejak masa kecilku banyak yang terhapus sudah. Di ujung sana kulihat Masjid Nurul Amal berdiri kesepian sendirian tepat di pinggir tepian. Kulihat tak banyak yang berubah di masjid itu, padahal ia dibangun sejak aku masih duduk di kelas V SD. Di masjid itulah aku belajar mengaji dengan ustaz Yasir usai magrib dan selesai selepas Isya. 

Akulah murid yang sering membuat ulah, pulang diam-diam sebelum Isya karena aku enggan berwudhu di sungai yang dingin airnya hingga kadang terasa menusuk sampai ke sumsum tulangku. Kutatap terus masjid itu, travel membawaku jauh dan makin menjauh. Makin lama masjid itu makin mengecil hingga akhirnya hilang dari pandangan.

Saat membeli es batu, otakku yang kanak-kanak dan serba ingin tahu terpesona melihat lemari yang mampu membekukan zat cair itu. Kepada Lemrizal, putra pemilik bengkel las yang juga teman mengajiku baik semasa di Masjid Babussalam maupun di Masjid Nurul Amal, aku minta izin untuk melihat seperti apa cara kerja lemari pendingin itu. Ku amati dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, dari muka ke belakang. Tak ada benda istimewa yang tampak olehku selain lemari bersekat-sekat dan sebuah kipas angin di belakangnya. Selepas membayar es batu aku berlari pulang. Di rumah ku buat sendiri lemari dari kayu seukuran lemari sepatu. Sisi kanan, kiri dan belakangnya kututup dengan kain sarung yang sudah kugunting-gunting seukuran lemari kayu itu. Setelah selesai kupasang kipas angin di belakangnya lalu kumasukkan segelas air ke dalam lemari made-in arisefendi itu. Saat itu aku yakin, sebesar keyakinan matahari bahwa ia akan terbit lagi esok pagi. Aku yakin air dalam gelas yang ku simpan di lemari itu pasti akan membeku. Aku tunggu satu jam, dua jam. Satu hari, dua hari. Air itu tak pernah membeku. Bertahun-tahun setelah itu baru aku mengerti bagaimana cara kerja kulkas dan apa yang menyebabkan air bisa menjadi batu. Sejak praktik kulkas ku yang gagal total itu aku harus tidur dengan godaan nyamuk yang berdenging-denging serupa pesawat tempur yang hendak mendarat di kupingku. Tak adalagi sarung yang bisa melindungiku dari dingin dan serangan nyamuk-nyamuk liar.

Di kamar yang menjadi bengkel praktikku itu, suatu hari karena ingin terlihat hebat kutulisi “Time Is Money”. Keren sekali kedengarannya. Itulah kosakata bahasa Inggris pertama yang kupungut entah dari mana. 

“Lho...Adek kan pelajar, mottonya harus diganti “Time Is Study!” kata Bu Mardianis yang waktu itu menjenguk ke kamarku. Sejak saat itu “Time Is Money” kuceraikan dari dinding kamarku, ku ganti dengan “Time Is Study”. Dinding dan tulisan “Time Is Study” itu hidup setia di kamarku, hingga cat tembok membuat mereka talak tiga dengan terpaksa saat aku sudah di SMA.

Mantra “Time Is Study” lah yang memotivasiku untuk belajar, belajar dan belajar. Sambil menonton televisi hitam putih merk “Janson” aku belajar. Sambil mengembala sapi aku belajar. Sambil membayangkan wajah “SA” aku belajar. Kalau semangatku sedang kendor, kubaca “Time Is Study”, semangatku kencang kembali, sekencang layang-layang menarik benang. Berkat mantra itu dan ketekunan ku dalam belajar, di kelas III aku meraih juara-2. Nilai Pancasilaku (dulu PMP) 9, Bahasa Inggris 9, selebihnya nilaiku rata-rata 8. Kecuali Kesenian dan Olahraga yang harus puas di angka 7. Nilai Olah Ragaku cuma 7 karena Pak Oyong melihat lemparan cakramku tak terlalu jauh, lontaran lembingku melenceng, lompatanku tak sejauh lompatan Martias dan Sabri yang kakinya panjang bak jerapah. Dalam cabang atletik aku selalu tertinggal saat lomba lari dengan teman-temanku. Sedangkan dalam mata pelajaran Kesenian? Aku tak bisa bermain gitar seperti Rini Sugiarti Ningsih.

Tanggal 22 Desember 1989 aku menerima rapor semester pertama kelas III. Saat itu walikelas ku Pak Hafnison Lubis. Di kelas ku kelas III-2 aku sekelas dengan 33 orang siswa diantaranya Muklis, Martias, M Kazen, M Ali, Nurdin dan Eli. Aku tak ingat siapa perempuan tercantik di kelas ini. Yang aku ingat, aku duduk di urutan pertama baris ketiga dekat dinding. Ruang kelasku berdinding kayu. Inilah kelas cikal bakal SMP Negeri Simpang Tiga, sekarang namanya SMPN-1 Luhak Nan Duo.

Di bawah tanda tangan Pak Hafnison, ayahku menggoreskan tanda tangannya. Tanda tangan yang masih ku ingat bentuknya, lekuk dan cengkoknya serta goresan tangannya.
Ayahku kini telah tiada, tetapi tulisannya, tanda tangannya serta cintanya kepada kami kekal hingga hari ini.



Aris Efendi
Jebolan FKIP Universitas Palangkaraya
Kelahiran Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat
Ayah 3 orang anak
Suami 1 orang istri
Mantan Wartawan Kalteng Pos
Sekarang sukses sebagai Developer di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular

Recent

Comments